Chapter IV
Soryy...
Drttt...
Getaran handphone mengejutkanku. Aku
pun terbangun dan berusaha mencari dimana keberadaan ponselku itu. Ketika ku lihat
ternyata panggilan dari Reza.
“Haloo,,
assalamualaikum, iya Reza udah dimana?” Tanyaku
“Haloo,, waalaikumsalam, ini mau otw kesana
Din. Cemana keadaan si Yoga?Kok bisa sampe masuk UGD?Sesak jantung aku baca
pesanmu tadi” Terdengar kekhawatiran Reza dari sebrang sana akan
sahabatnya.
“Uda
gerak kemari aja dulu, nanti aku ceritain semuanya kalau udah sampe sini”
“Oke,, ini aku gerak,, Assalamualaikum”
Reza mengakhiri percakapan singkat kami.
“iya,
hati-hati,,, Waalaikumsalam,,” Ku tutup dengan membalas salamnya.
Kutatap
jendela, sekilas terlihat warna langit sudah berubah menjadi jingga padahal
terakhir kulihat masih berwarna biru. Kulihat jam digital diatas meja sudah
menunjukkan pukul 05.20 pm. Pandangan kualihkan ke wajahnya yang sudah nampak
lebih baik dari yang kulihat terakhir kali.
“heyy,,
kapan kau mau bangun ha? Kau tahu? Kau hampir membuatku gila, melihatmu pingsan
gitu gak sanggup rasanya,, kau tahu apa yang ku rasakan ha? Sebenernya aku...”
aku seperti orang gila ngomong sendiri, sampai tiba-tiba.
“apa
yang kau rasakan ha?” Suara Yoga mengejutkanku
“Yoga,
udah sadar? Cemana perasaanmu? Uda enakan?” Tanyaku penuh khawatir.
“Entah,
lemas kali badanku rasanya,, Makasih ya, udah bawa aku ke sini. Kalau gak ada
kamu, entah cemana aku udahan..”
“Iya
sama-sama. Eh, si Reza lagi di perjalanan kemari. Kamu ada mau nitip sesuatu
sama dia?”
“Ah
enggak gak usah, lagi ga selera aku makan apa-apa” Dia menolak tawaranku.
“Ohh,,
Yoga aku mau nanya, kamu gak ngabarin ayah atau ibumu?”
“Aku
tidak mau membahasnya...”
“Tapi,
kalau kamu kenapa-kenapa nanti gimana? Namanya orang tua pasti pengen tahu
keadaan anaknya Yoga. Kalau kamu gak ada mau ngabarin, cemana orang tua kamu
bisa tahu keadaan anaknya” Setelah aku berbicara, ekspresi Yoga berubah
drastis.
“Kau..kau
tau apa tentang orang tuaku ha?!! Kau tau apa tentang keluargaku ha?!! Kalau
gak tau apa-apa gak usah ngomong, gak usah sok dekat, gak usah sok kenal. Kita
baru jumpa beberapa hari, apa rupanya yang kau tahu tentangku ha?!! Keluar!!”
Yoga membentakku sejadi-jadinya.
“Tapi..
Yoga.. aku..” dengan perasaan takut aku berusaha meredamkan emosinya.
“Kau
tidak dengar ha?! Aku bilang keluar ya keluaarr!!!” Bentaknya
Tubuhku
rasanya gemetaran dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku tak tahu harus
bagaimana. Tanpa ku sadari air mataku mengalir. Segera kuambil ransel dan handphone ku, akupun berdiri dan
melangkah menuju pintu meninggalkan kamar itu. Kamar yang awalnya penuh dengan
aura kekhawatiran kini berubah menjadi kamar yang penuh emosi dan amarah. Aku
masih belum paham apa aku salah bicara atau bagaimana. Iya, aku tahu
kata-kataku tadi seperti sok menasehatinya, tapi aku mengatakan hal itu juga
untuk kebaikan dia dan keluarganya bukan ada maksud apapun.
Kuraih
gagang pintu, sejenak aku terdiam di sana. Sambil mengusap air mataku, aku menyempatkan
diri menoleh kebelakang memastikan keadaannya benar-benar sudah baikan. Kulihat
dia menatap jendela yang ada di sebelah kanannya. Beberapa detik aku
menatapnya, berharap dia mau memalingkan wajahnya dan membalas tatapanku. Tapi,
itu tidak mungkin akupun berlalu meninggalkan kamar itu.
Reza’s Part
Aku
memarkirkan mobilku, mematikan mesinnya, dan mengambil buah-buahan yang kubeli
di perjalanan tadi. Segera aku keluar, dan berjalan menuju meja resepsionis.
Awalnya aku menelpon Dinda untuk bertanya dimana kamar Yoga di rawat, tetapi
dia tidak mengangkatnya sama sekali jadi terpaksa aku harus bertanya dengan perawat yang ada di meja resepsionis.
“Permisi,
mbak mau nanya. Saya mau jenguk teman saya namanya Ananda Yoga Pratama Putra.
Dia masuk rumah sakit ini tadi siang, kamarnya nomor berapa ya mbak?”
“Sebentar
ya mas. Oh, kamarnya no 201 di lantai 2 ya mas. Kalau dari sini naik lift,
keluar dari lift mas ambil jalan yang kekanan, kamarnya paling ujung sebelah
kanan” mbak perawat itu menjelaskan detailnya padaku.
“Oke,
terima kasih banyak ya mbak”
Kakiku
mulai melangkah menuju lift, dan menekan tombol menuju lantai 2 sesuai petunjuk
perawat tadi. Kulihat jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 06.00 pm. Apa aku
menginap di sini aja ya nemeni si Yoga pikirku. Kasihan dia kalau di tinggal
sendirian, mana mungkin si Dinda bisa menginap disini. Dengan penuh
pertimbangan aku memutuskan untuk menginap di sini menemani Yoga. Lift terbuka
dan aku melangkahkan kaki menuju kamar Yoga.
Tok..tok..tok
“Yoga aku masuk ya,,” pintu ku ketuk dan minta izin dia untuk masuk kedalam
“Iya,
masuk aja” Aku membuka pintu setelah mendapat izinnya, tapi situasi didalam
mengejutkanku.
“Loh
Ga, si Dinda mana? Bukannya dia yang ngantar kau kemari ya?” aku masuk ke
kamarnya dengan penuh tanya.
“Dia
pulang, ada urusan katanya” Jawabnya singkat
Kupandangi
ekspresi sahabatku itu, dengan mudah ku tebak dia berbohong.
“Kau
berbohongkan, pikiranmu berbicara lain padaku. Kau merasa bersalah, kau
memakinya, dan kau mengusirnya kan? Itu semua karrna dia bertanya tentang ayah
ibumu kan?” Aku menebak dan Yoga tertunduk pertanda tebakanku benar.
“Ya
ampun, ayolah Yoga masa’ karena hal sepele gitu kau memarahi dia habis-habisan
sih. Dia kan gak salah menanyakan tentang ayah ibumu, pertanda dia juga
mengkhawatirkanmu dan kedua orang tuamu. Yah, walaupun dia tidak tahu bagaimana
keadaan latar belakangmu yang sebenarnya.” Aku mencoba menasehatinya.
“Susah
memang ya punya kawan yang bisa baca pikiran orang. Sedikitpun gak bisa
berbohong. Tapi Za, dia menasehati aku menceramahi aku seolah-olah dia tau
segalanya. Aku paling gak suka sama orang yang sok tahu sama kehidupan
pribadiku.” Yoga mulai membela diri.
“Tapi
Ga, diakan gak tahu sama sekali kan tentang latar belakangmu. Diakan,,,” belum
selesai aku bicara dia memotong.
“Kalau
memang gak tahu ya jangan sok tahu, sok-sok menasehati segala.”
“Ahh,,
terserahmu Ga. Apa dia menangis sewaktu kau usir tadi?”
Yoga
hanya terdiam dan mengalihkan tatapannya kembali kearah jendela. Kutangkap
ekspresi penuh penyesalan dari wajahnya. Aku tau dia sangat menyesal berkata
kasar ke Dinda. Karena aslinya Yoga bukan lah pemarah, apa lagi sama wanita dia
luar biasa baik. Hanya hal tertentu yang membuat dia berubah kepribadian salah
satunya tentang orang tuanya.
“hmm..
setelah masuk kampus nanti kau harus minta maaf sama dia. Oh iya, apa kata
dokter? Apa Dokter sudah mengunjungimu?”
“Beberapa
menit sebelum kau datang Dokternya datang kemari tadi. Katanya aku terkena
Diare. Memang akhir-akhir ini perutku terasa aneh dan selalu kekamar mandi.
Puncaknya tadi siang setelah makan soto. Salahku juga terlalu banyak sambal
yang kutambahkan, terkahirnya pertuku semakin menjadi-jadi. Tapi kata dokternya
besok aku udah boleh pulang kok” Jelasnya.
Handphone ku
berdering, ku lihat panggilan dari Dinda. Perasaan resah menyelimutiku.
“Halo,,
assalamualaikum Dinda, kenapa?” Tanyaku
“Za,,
tolong za,, please cepet kemari Za,, rumah kami za,,” Suara kericuhan dan isak
tangis Dinda terdengar jelas di seberang sana.
“Kenapa
rumahmu Din?” Tutt....tutt...tutt.. Belum sempat aku bertanya dengan jelas suara
Dinda menghilang.
“Ga,
Dinda ga,,,”
To
be Continued.....